Skip to main content

Hobi Baru

Belakangan, kalau ditanya "hobimu apa?" aku bakal jawab "traveling" setelah "bermain musik" dan "bermain game." Bukan buat gaya-gayaan semata, toh aku juga ga sesering itu bepergian, tapi memang aku menikmati ketika kesempatan itu datang. Dan jauh lebih asik ketika melakukan itu semua dengan uang hasil sendiri. It hits different.

Nggak berada di rumah setidaknya untuk satu malam selalu mengantarkan ke pengalaman baru. Senang bisa menghabiskan perjalanan bersama teman-teman, bertemu dan ngobrol dengan orang baru, mengunjungi tempat yang asing, dan melakukan kegiatan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Untuk yang nomor dua, aku sengaja menantang diriku untuk memberanikan diri ngobrol dengan orang baru ketika bepergian.

--

Awal Mei kemarin aku ke Tangerang selama lima hari. Hari Minggu, hari ke tiga di sana, aku coba ajak ketemuan teman di tempat kerjaku yang lama, Dinda. Sekarang dia sudah kerja di Jakarta. Memang bukan orang baru sih, tapi kami cuma sekadar tau satu sama lain tanpa pernah ngobrol

Dinda yang sudah satu tahun di sana menyarankan untuk bertemu di Blok M. Aku langsung mengiyakan karena sering baca-dengar-tonton kalau itu salah satu kawasan terkenal dan yang direkomendasikan, selain aku nggak perlu jauh-jauh dan ribet naik transportasi umum #peaceDin hehe. Cuma perlu naik MRT selama kurang lebih 30 menit dari kos temanku.

Kami ngobrol banyak hal tentang kegiatan sehari-hari, kehidupan nomaden Dinda yang berbeda 180° denganku, rencananya melanjutkan karir ke Negeri Matahari Terbit yang akhirnya harus batal, teman-teman seperjuangan di grup WhatsApp, musik yang didengar, rute Transjakarta dan MRT / KRL, hingga ke pekerjaan: bedanya di tempat yang lama dan baru, gaji dan lemburan, dan ngepoin aku soal keluar dari tempat kerja.

Nggak kerasa tiga jam berlalu dari jam 12 siang kami mengobrol dan sudah jalan-jalan di area M Bloc Space. 

"Daa bang. Eh, mas," tawa Dinda sambil bingung harus manggil aku dengan sapaan apa, padahal sudah kesana kemari ngobrol. "Udah kebiasaan di sini soalnya."

Berswafoto dengan Dinda di Stasiun MRT Blok M.

Kami pun berpisah di stasiun MRT menuju peron masing-masing, Dinda dengan tujuan ke Dukuh Atas dan aku kembali menuju Fatmawati sambil membawa map coklat berisi rilisan album fisik dua grup musik terkenal dalam negeri yang kubeli di salah satu toko rekaman musik. Lumayan, oleh-oleh..

--

Pagi baru balik dari Jakarta, sorenya langsung menuju Blitar. Nggak sampai sehari berlalu tapi harus duduk lagi di kursi kereta yang totalnya 17 jam. Pegel sih, tapi kali ini beda karena rame-rame bareng teman. Ada Aji, mas Yosef, Siska, Intan, Mayu. Jadi perjalanan nggak begitu terasa lama dan membosankan. Apalagi ada insiden Intan ketinggalan kereta yang bikin kami cemas dan panik, meski akhirnya dia nyusul naik bis dan janjian bertemu langsung di Kota Patria tersebut.

Jam 9 malam lebih kami tiba di Stasiun Garum. Di luar sudah disambut oleh Romo Theo, tuan rumah yang menerima kami di penginapan dan mengantarkan kami jalan-jalan selama di sana.

"Gimana perjalanan?" sapa Romo Theo, sambil menyalami kami satu-satu dan merekam menggunakan HP dengan tangan kirinya. Rekaman video itu yang nantinya dibuat jadi mini vlog di IG Reels akun miliknya.

"Aman Romo," sambil kujulurkan tangan untuk membalas salamannya. 

"Sudah lama nunggunya, Romo?" tanya salah satu dari kami.

"Enggak, baru aja sampai. Deket kok stasiun sama seminarinya," sambil berjalan mengarahkan ke mobil. "Yang jauh habisini, harus jemput temanmu satu di terminal," kami semua tertawa.

Makan malam di salah satu sudut Kota Blitar.

Hari kedua di sana, kami pergi ke Pantai Serang setelah berunding bareng dari malamnya. Jaraknya kurang lebih 40 KM dari tempat kami menginap tapi nggak begitu terasa lama karena seisi mobil bergantian ngobrol dan cerita.

Romo Theo masih relatif muda, hanya berjarak beberapa tahun dengan kami. Dan meski seorang romo, tapi dia nggak sekaku itu, ditambah sudah kenal dengan beberapa dari kami. Candaan-candaannya yang dilanturkan juga bisa memecahkan suasana. Aku yang Kristen sendirian di sana, karena yang lain Katolik, menikmati obrolan yang lepas dengan Romo Theo. "Asik juga nih romo," pikirku dalam hati.

Singkat cerita, obrolan kami nggak cuma sebatas hal-hal umum dan bercandaan.

Obrolan "penuh daging" di pinggir pantai.
 

Selesai menyantap ikan bakar dan es degan di pinggir pantai, kami membahas sedikit perjalanan kisah gimana Romo Theo menjadi romo. Perjalanan spiritual yang nggak semua orang bisa mendapat panggilan misi ini, termasuk konsekuensi untuk tidak memiliki pasangan, menikah, dan memiliki keturunan. Atau lebih tepatnya bukan konsekuensi, tetapi harga yang harus dibayar untuk memenuhi panggilan mulia ini. Dan nggak cuma itu harga yang harus dibayar. Masih banyak lagi.

Nggak disangka, Romo Theo menjelaskan bahwa memiliki keturunan nggak hanya sebatas lahiriah jasmani atau seperti ibu yang melakukan proses persalinan melahirkan seorang bayi. Tapi lebih dari itu, ada konsep lahir baru yang umat Kristen-Katolik imani. Dan romo memiliki anugerah itu, memberi kelahiran baru kepada jiwa-jiwa melalui perantaraan-Nya.

Aku mendengarkan dengan seksama sambil menganggukkan kepala.

Tak terasa kami harus balik karena juga akan mengejar kereta untuk balik ke Surabaya. Meski sebentar tapi aku cukup puas dengan obrolan siang itu. Sebelum kami akhirnya benar-benar meninggalkan pantai, Romo Theo juga menjelaskan tentang prosesi pengakuan dosa kepada romo yang umat Katolik lakukan menjelang hari-hari besar. Dimulai dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang membuat kami berenam mungkin sempat salah jawab.

"Ada dua orang, A dan B. A melakukan dosa selama 20 tahun. B melakukan dosa yang sama selama 2 tahun. Keduanya melakukan pengakuan dosa kepada romo. Orang mana yang harus diberi dan merasakan pengampunan terlebih dahulu?"

--

Sebulan berlalu sejak dari Blitar, tiba-tiba di notification WhatsApp HPku ada grup "Ranu Regulo 2023" yang isinya teman-teman gereja mengajak untuk camping. Aku antusias karena memang belum pernah, dan langsung voting tanggal yang sudah ditentukan. Isinya serba mendadak, tapi untung nggak cuma sekadar wacana.

Karena tiga teman mendadak tidak bisa ikut karena urusan pekerjaan dan kuliah, akhirnya kami pergi bertujuh. Aku, Joel kembaranku, Juan, Iyen, Viant, Richo dan Nathan.

Kurang dari 24 jam tapi persiapan belum ada sama sekali. Di malam sebelumnya, baru ada briefing singkat lewat groupcall tentang titik kumpul dan jam berapa, pembagian yang harus dibawa setiap kami, rute yang dilewati, serta kelengkapan alat camping yang harus disewa.

Kami menyewa peralatan camping di Instagram: babatalas.id yang selain lengkap, ternyata pemiliknya adalah teman bandku sendiri waktu masih SMP, Andyan. Senang rasanya bisa bertemu tanpa disengaja dengan dia.

"Sejak kapan buka persewaan gini, Yan?" tanyaku.

"Sejak awal kuliah, mas. Jalan 6 tahun ini," jawabnya sambil mengemas peralatan yang akan kusewa.

Berawal dari hobi naik gunung, dia bisa melihat peluang dan membuka jasa persewaaan alat-alat camping dan menghasilkan uang. Salut.

Andyan, pemilik @babatalas.id yang juga bassistku di band SMP.

Rencana kami sampai di lokasi ketika masih gelap, membangun tenda, dan menikmati matahari terbit sambil sarapan dengan masak di depan tenda. Tapi nyatanya baru tiba di kawasan Ranu Regulo sekitar jam 7 pagi karena terlambat berangkat, nyasar dan harus putar balik sejauh 20 KM total, dan harus mengistirahatkan mobil serta Iyen sebagai sopir.

Niat masak sendiri untuk sarapan sudah pupus. Begitu sampai dan memarkirkan mobil, kami yang sudah lelah dan lapar langsung turun dan menuju warung yang lokasinya nggak jauh dari parkiran. Terlihat dari jauh tulisan menjual pecel dan soto ayam. Menu yang pas banget untuk sarapan.

Dikelilingi sawah terasiring, letak warung ini terasa adem dan sejuk. Bu Nur, pemilik warung, dengan hangat melayani setiap pesanan yang kami minta.

"Ini kanan kiri dan belakang nanam sayur apa, bu?" tanyaku.

"Kentang, mas. Sama bawang daun." jawabnya sambil menggoreng telur.

Di saat yang lain sarapan, aku lumayan asik ngobrol sama Bu Nur. Orangnya kooperatif dan siap menjawab dan menjelaskan setiap hal yang kutanyakan. Sejauh apapun yang bisa terlihat dengan mata kujadikan bahan obrolan. Soal danau buatan yang mangkrak penggaliannya karena pekerjanya tidak dibayar dan meninggalkan dua ekskavator serta timbunan yang menggunung, rata-rata jumlah pengunjung di hari-hari tertentu, jalur yang digunakan menuju ke Ranu Regulo, hingga mata pencaharian warga di sana.

Bu Nur jadi penyelamat bagi kami. Selain sarapan di warungnya, kami juga barter beras dengan nasi untuk dibuat makan sore dan malamnya. Kami terlalu fokus membagi bahan makanan yang dibawa tanpa membawa peralatan masaknya.. hehehe

Wajah kelaparan menunggu masakan Bu Nur.

Wajah puas setelah berhasil mendirikan tenda.

--

Awal Juli, aku mengunjungi kota yang dijuluki The Sunrise of Java. Ada yang tau di mana? Yup, Banyuwangi. Disebut seperti itu karena Kabupaten Banyuwangi daerah paling timur yang pertama terkena sinar matahari terbit di Pulau Jawa.

Berawal dari ada yang nge-share open trip Banyuwangi di grup WA, akhirnya ada kesempatan itu. Tahun baru 2017 aku sudah pernah ke Banyuwangi, berwisata ke pantai di Pulau Merah dan Teluk Hijau. Tapi kali ini ke Kawah Ijen, daerah gunung. Mumpung vibes Ranu Regulo masih hangat, hehe.

Berangkat dari Stasiun Pasar Turi Surabaya bersama satu rombongan lain, kami menuju Banyuwangi sekitar setelah maghrib. Di perjalanan berangkat kami duduk di depan menemani pak Sopir yang bernama Mas Bian. Meskipun terlihat garang dengan tato yang memenuhi kedua lengannya dan tatapan mata yang tajam, tapi ternyata ia ramah dan asik diajak ngobrol. Pengalamannya jadi tour leader dan sopir sejak 2016 yang sudah melanglang buana ke berbagai tempat di Indonesia, membuat obrolan kami lebih bervariatif.

Sesekali obrolan kami berhenti karena Mas Bian harus fokus untuk menyalip kendaraan yang ada di depannya. Badan kami ikut ke kanan dan kiri mengikuti setir yang dibelokkan, sambil sesekali nyebut berharap selamat sampai tujuan. Pelan-pelan Pak Sopir.

Ada satu perkataan Mas Bian yang cukup aku ingat ketika kami baru berangkat. Ia bilang, "jangan nunggu kaya baru berlibur jalan-jalan, tapi jalan-jalan berliburanlah agar merasa kaya."

Yaaaa, ada benarnya. Kaya pengalaman. Kaya kenalan. Dan, kaya kenangan.

Setelah trekking kurang lebih 15.000 langkah.

Comments

Popular posts from this blog

Pdt. Abraham Alex Tanuseputra

Yaaapp! Kalian tau siapa foto opa diatas? Beliau adalah Abraham Alex Tanuseputra. Gembala senior gereja Bethany. Aku cuma mau membagi ke pembaca tentang kerja kerasnya dari nol sampai sekarang ini ;) "Dulu, dulu banget, Pak Alex bergereja di Pacet. Sejak dari muda semangatnya ke Tuhan sudah tinggi. Sering pelayanan sama saya, tapi saya di GKJW daerah sana, nggak satu gereja sama dia. Sampai akhirnya, saya harus pindah rumah karena mengikut suami saya yang sebagai camat yang ditugaskan pindah daerah. Semenjak itu juga Pak Alex pindah ke Manyar Sindaru, Surabaya. Jadi jarang ketemu. Sampai akhirnya terbentuklah Gereja Bethany Manyar. Awal terbentuknya gereja itu dari persekutuan di bagasi rumah, sampai akhirnya berkembang, berkembang, dan berkembang lalu terbentuklah gereja tersebut. (foto gedung dari depan tidak ada) Belum lama setelah itu, Pak Alex bermimpi membangun gereja yang lebih besar lagi, Banyak orang yang meragukan, tetapi dia tetap percaya aja ...

Sanju's Magic Pencil and Doraemon's Magic Pocket

We've all experienced childhood. And what is our similarity during childhood? It's probably cartoons, whether watching them or reading them. Back when I was in elementary school, I was grateful because my family could afford to buy us comics regularly. Even my parents regularly took the three of us to Gramedia to buy books. My older sibling collected Detective Conan comics; they would always buy those created by Aoyama Gosho. Meanwhile, my twin and I often bought Doraemon comics. Most of us have read or watched Doraemon at some point. If not, one thing many people know about Doraemon is his magic pocket. Through the pocket in his belly, he can produce anything needed. Imagine if we had a friend like Doraemon? Or what if Doraemon were our own selves? I also remember a fictional character from an Indian TV series named Sanju. He could draw anything and make it real using his magic pencil. One time when he was hungry; he drew curry rice, and it appeared in front of him. The show w...

Introduce

Shalom Hai, aku pendatang baru nih di blog-blog semacam ini (ketinggalan jaman) hehehe tapi aku gak mau dong ketinggalan jaman terus dari temen-temen. Iri nih soalnya mereka pada nulis ceritanya disini dan bisa dibaca banyak orang, jadi ini alasan mengapa aku juga bikin :D Nama lengkapku samuel ivano lestantyo. Aku anak ke 2 atau 3 (aku sendiri juga tak tau) dari 3 bersaudara, nah kenapa bisa 'atau' soalnya aku juga punya saudara kembar {yoel iyano wicaksono) atau biasa dipanggil joe yang saling ribut masalah siapa menjadi paling bungsu -_- kata orang kalau kembar yang lahir terakhir itu kakak, tapi aku juga gatau pastinya deh. Anak pertama juga laki, ialah mas daniel kinantyo christy. Jadi dirumah paling cantik yaitu mami tercinta saya. Oh iya, aku tinggal di tengah kota sidoarjo, jawa timur Ini fotoku sama joe setelah main banana boat :D coba tebak aku kanan/kiri?  Aku yang kanan Dari depan: aku, joe, mas daniel, papi Ini sehari jadi preman :D joe-pa...