Skip to main content

Rel Kereta Api

Siang itu aku terjaga dari tidurku karena suara dengkuran mami. Suaranya memang tidak sekeras papi ataupun mas, tapi aku kadang gampang terbangun ketika ada suara. Suara pintu, suara kalung kucing, suara kendaraan yang lewat depan rumah, atau juga biasa suara adzan dari Masjid. Oh iya, sama satu lagi, suara dari seberang telpon yang memanggil aku ketika sedang sleepcall. Ah, momen itu...

Memang, sejak masih SMP, ketika sudah di rumah sepulang sekolah, aku sering tidur di kamar orangtuaku. Apalagi mereka sama-sama kerja, jadi nggak bakal mengganggu. Nggak tau kenapa tidur di sana jadi lebih nyenyak. Bisa lebih adem dan aroma bantal-gulingnya bikin nggak mau beranjak dari kasur. Sampai sekarang, kalau ada kesempatan tidur siang di kamar mereka, sudah pasti deh langsung kasurnya aku kuasai.

---

Ketika terbangun karena suara mami, langsung kuambil handphone yang kutaruh di sebelah kakiku. Jam masih menunjukkan angka 14.38. Sepertinya mami juga baru terlelap. Aku memang tidur lebih awal siang itu di kamar mami sebelum kedua orangtuaku sampai rumah, karena biasanya di hari Minggu selepas pulang gereja mereka nggak langsung pulang. Terlihat juga papi di luar kamar masih memakai kemeja batik yang kancingnya sudah dilepas semua, sumuk sepertinya. Aku pun juga baru sadar tubuhku berkeringat, kaos yang kupakai tidur agak basah. Padahal cuaca di luar lagi mendung, tapi memang tidak ada angin yang bertiup masuk lewat jendela.

Aku turun dari kasur dan langsung duduk di teras sambil ngadem. Sambil memandangi langit yang berwarna abu-abu, aku belum tau mau ngapain menghabiskan sisa hari itu. Hana, kucing oyen peliharaan di rumah -yang sebenarnya aku kasih nama dengan ejaan Hannah-, datang dari dalam ruang tamu langsung jalan mendatangi aku. Dia berputar-putar mengelilingi sambil sesekali menempelkan kepalanya di kakiku. Mungkin lagi pingin diusap-usap, dimanja. Atau justru dia yang menghibur aku?

Dari pada Cia (kucing peliharaan lainnya yang berwarna hitam), Hana memang lebih sering nempel ke babunya. Yap, bagi yang melihara kucing, ada sebutan kalau kucing adalah majikan, dan kita yang melihara adalah babu. Hehe. Hana lebih sering nempel dan ndusel ke kami semua, dan aku juga ngerasa kalau dia bisa memahami perasaan babunya ketika sedih. Di beberapa waktu dia nemenin tidur naik ke kasur ketika suasana hati lagi mendung, berharap babunya bisa melepas sedih meski tidak bisa ngobrol. Kehadirannya memang bisa sedikit melegakan. Nggak perlu banyak kata, kadang dalam diam sedih juga bisa padam.

Di sore itu Hana lagi-lagi benar. Rupanya dia bisa membaca isi hati dan otakku. Saat itu pikiranku melayang kepada seseorang yang menemaniku selama 7 tahun terakhir, yang harus berakhir dengan jalan masing-masing dan keputusan bersama. Seven years has gone so fast, seperti potongan lirik lagu Wake Me Up When September Ends dari Green Day. Maka sore itu aku memutuskan untuk... mengenang kembali momen kebersamaan kami.

Bagaimana? Dengan mendatangi salah satu tempat yang kami suka, saat itu.

Dulu kami sering menunggu matahari terbenam sambil duduk di suatu tempat. Bukan di pantai, bukan di pinggir laut. Bukan di restoran rooftop dengan pemandangan indahnya, ataupun di kafe tepi sawah kekinian. Melainkan di rel kereta api. Unik memang, dan sedikit nekat. Tapi itu tempat kami bisa saling ngobrol santai sambil memandangi langit yang berwarna biru cerah hingga berganti warna oren jingga.

---

Aku berniat jalan kaki untuk pergi ke rel kereta api. Selain karena memang dekat dan masih satu kawasan di perumahan, hitung-hitung sekalian nambah jumlah langkah kaki yang terekam di aplikasi Fitness HPku. Maklum, hari itu hari Minggu, baru gerak sedikit cuma ke gereja aja paginya.

Karena itu di kawasan perumahan, sebenarnya jalan menuju ke lokasi banyak pilihannya karena memang banyak gang yang bisa dilewati. Tapi jalan yang aku ambil persis seperti dulu ketika kami hendak ke sana. Hanya bedanya kali ini aku sendiri, tapi justru menemukan banyak hal baru.

Ada satu rumah di pojokan yang memelihara banyak sekali burung dara, atau juga disebut burung merpati. Burung-burung itu berbaris rapi dan hinggap di kabel listrik tepat di atas rumah itu. Lama memandangi burung yang disebut lambang kesetiaan itu, aku teringat kalau kontak dia di HP sempat kunamai "비둘기" / bidulgi yang berarti burung merpati dalam bahasa Korea, lengkap dengan emoticon burung merpati di belakangnya. Aku melihatnya dari bawah sambil dalam hati berkata, "Apa ya yang lagi mereka pikirkan sekarang?"


Tiba-tiba dari balik gang keluar macan cilik berbulu lebat berwarna hitam dan oren, alias kucing. Dari jauh tampak kucing ini terawat, tapi ketika mendekat tidak ada kalung yang melingkar di lehernya. Dia langsung nempel ke aku, mungkin dia mencium aroma kucing di tubuhku sehingga aman baginya untuk ada di dekatku. Aku sempat main dengan kucing ini cukup lama, mengalihkan perhatianku dari kumpulan burung merpati tadi. Namun lagi-lagi aku teringat dia. Kami juga pelihara kucing masing-masing di rumah kami. Awalnya dia menolak dan tidak suka ketika aku harus pelihara dua anabul yang lucu nan mengggemaskan itu, eh tapi sekarang dia malah pelihara tiga kucing (bahkan yang awalnya dari empat). Ada-ada saja cara semesta menghadirkan kembali ingatan tentang kami. Hehehe.

Setelah kurang lebih 30 menit terhenti, akhirnya aku melanjutkan ke tujuan awal yang tidak jauh dari situ. Rel kereta api. Untuk menuju ke lintasan rel, ada jembatan kecil yang aman untuk dilewati. Aku langsung duduk di salah satu ruas rel kereta tersebut. Tanpa berusaha mengenang, ingatan tentang kebersamaan kami muncul satu-persatu. Makan mochi Aice dan telur gulung yang kami beli di Indomaret, bermain lempar-tangkap batu, memetik bunga liar di sekitar rel, jalan di ruas rel sambil mengatur keseimbangan, menaruh uang koin untuk digepengkan, selfie ketika kereta lewat, dan yang paling kuingat menjelaskan teori offside dalam sepakbola dengan menggunakan batu. Dia masih paham nggak ya?

Tidak, sore itu tidak bicara soal patah hati. Justru sebaliknya. Bersyukur untuk segala kenangan baik (dan buruk), yang membentuk aku hingga sekarang ini. Terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari hidup.

---

Setelah dirasa cukup, aku bangkit dari dudukku. Aku pulang, bersamaan dengan Jayabaya mengantarkan penumpangnya ke Malang.

Comments

Popular posts from this blog

Pdt. Abraham Alex Tanuseputra

Yaaapp! Kalian tau siapa foto opa diatas? Beliau adalah Abraham Alex Tanuseputra. Gembala senior gereja Bethany. Aku cuma mau membagi ke pembaca tentang kerja kerasnya dari nol sampai sekarang ini ;) "Dulu, dulu banget, Pak Alex bergereja di Pacet. Sejak dari muda semangatnya ke Tuhan sudah tinggi. Sering pelayanan sama saya, tapi saya di GKJW daerah sana, nggak satu gereja sama dia. Sampai akhirnya, saya harus pindah rumah karena mengikut suami saya yang sebagai camat yang ditugaskan pindah daerah. Semenjak itu juga Pak Alex pindah ke Manyar Sindaru, Surabaya. Jadi jarang ketemu. Sampai akhirnya terbentuklah Gereja Bethany Manyar. Awal terbentuknya gereja itu dari persekutuan di bagasi rumah, sampai akhirnya berkembang, berkembang, dan berkembang lalu terbentuklah gereja tersebut. (foto gedung dari depan tidak ada) Belum lama setelah itu, Pak Alex bermimpi membangun gereja yang lebih besar lagi, Banyak orang yang meragukan, tetapi dia tetap percaya aja ...

Sanju's Magic Pencil and Doraemon's Magic Pocket

We've all experienced childhood. And what is our similarity during childhood? It's probably cartoons, whether watching them or reading them. Back when I was in elementary school, I was grateful because my family could afford to buy us comics regularly. Even my parents regularly took the three of us to Gramedia to buy books. My older sibling collected Detective Conan comics; they would always buy those created by Aoyama Gosho. Meanwhile, my twin and I often bought Doraemon comics. Most of us have read or watched Doraemon at some point. If not, one thing many people know about Doraemon is his magic pocket. Through the pocket in his belly, he can produce anything needed. Imagine if we had a friend like Doraemon? Or what if Doraemon were our own selves? I also remember a fictional character from an Indian TV series named Sanju. He could draw anything and make it real using his magic pencil. One time when he was hungry; he drew curry rice, and it appeared in front of him. The show w...

Introduce

Shalom Hai, aku pendatang baru nih di blog-blog semacam ini (ketinggalan jaman) hehehe tapi aku gak mau dong ketinggalan jaman terus dari temen-temen. Iri nih soalnya mereka pada nulis ceritanya disini dan bisa dibaca banyak orang, jadi ini alasan mengapa aku juga bikin :D Nama lengkapku samuel ivano lestantyo. Aku anak ke 2 atau 3 (aku sendiri juga tak tau) dari 3 bersaudara, nah kenapa bisa 'atau' soalnya aku juga punya saudara kembar {yoel iyano wicaksono) atau biasa dipanggil joe yang saling ribut masalah siapa menjadi paling bungsu -_- kata orang kalau kembar yang lahir terakhir itu kakak, tapi aku juga gatau pastinya deh. Anak pertama juga laki, ialah mas daniel kinantyo christy. Jadi dirumah paling cantik yaitu mami tercinta saya. Oh iya, aku tinggal di tengah kota sidoarjo, jawa timur Ini fotoku sama joe setelah main banana boat :D coba tebak aku kanan/kiri?  Aku yang kanan Dari depan: aku, joe, mas daniel, papi Ini sehari jadi preman :D joe-pa...